![]() |
Sampul Buku Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata |
Judul Buku: Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata
Pengarang: Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
Penerbit: PT. Refika Aditama
Tahun Terbit: Cetakan Kesatu, April 2017
Tebal Buku : x+176 halaman
ISBN : 978-602-6322-37-1
1. Alat bukti elektronik dalam perkara perdata
Hukum pembuktian perdata di Indonesia, secara yuridis formal belum mengakomodasikan dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun, demikian sebenarnya sudah ada tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misal dengan adanya online trading dalam bursa efek.
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui pasal 5 mengatur tentang bukti elektronik yang mengatakan, bahwa:
Hukum pembuktian perdata di Indonesia, secara yuridis formal belum mengakomodasikan dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun, demikian sebenarnya sudah ada tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misal dengan adanya online trading dalam bursa efek.
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui pasal 5 mengatur tentang bukti elektronik yang mengatakan, bahwa:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengena Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Lebih lanjut juga dijelaskan dalam Pasal 6, Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (14).
2. Pembuktian dalam perkara perdata
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu:
- Membuktikan dalam arti logis. Berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
- Membuktikan dalam arti konvensional. Berarti memberi kepastian tetapi bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya.
- Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata). Berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian terhadap peristiwa yang diajukan.
3. Kekuatan pembuktian suatu alat bukti
Dalam menilai kekuatan pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh undang-undang, untuk ini terdapat 3 teori, yaitu:
- Teori pembuktian bebas. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim, tidaka danya ketentuan yang mengikat.
- Teori pembuktian negatif. Ada ketentuan yang mengikat, yang bersifat larangan (negatif) kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
- Teori pembuktian positif. Adanya perintah kepada hakim dengan diberikan kewajiban tetapi bersyarat.
Terdapat asas-asas yang berlaku dalam pembuktian perkara perdata, yaitu:
- Asas ius curia novit, yaitu bahwa hakim dianggap mengetahui akan hukumnya juga berlaku dalam pembuktian, karena dalam membuktikan, tentang hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak tetapi dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim.
- Asas negative non sunt probanda, bahwa sesutau yang negatif tidak dapat atau sukar untuk dibuktikan.
- Asas beban pembuktian terbalik (omkering van bewijstlast), yang artinya unsur kesalahan dari pihak tergugat (pelaku) tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat, melainkan tergugat yang harus membuktikan sebaliknya.
- Asas audit et alteram partem, kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak di muka hakim, merupakan asas dalam pembagian beban pembuktian, berdasarkan kedudukan para pihak secara seimbang.
- Asas acta publica probant sese ipsa, bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang telah ditentukan.
- Testimonium de auditu (kesaksian dari pendengaran), merupakan asas dalam pembuktian dengan menggunakan alat bukti kesaksian yang diperoleh saksi dari orang lain.
- Asas unus testis nullus testis, yang secara harfiah berarti satu saksi bukan saksi, mengandung arti bahwa satu alat bukti saja tidak cukup untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa.
Secara umum dikenal 4 macam sistem pembuktian, yaitu:
- Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
- Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
- Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis
- Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
4. Perkembangan alat bukti dalam praktik penanganan perkara perdata di pengadilan
Sampai saat ini hukum pembuktian positif di Indonesia masih berdasarkan pada HIR/RBg dan BW yang merupakan produk pemerintah belanda. Hukum pembuktian yang tercantum dalam HIR dan RBg adalah hukum pembuktian materil dan formil, sedangkan dalam BW adalah hukum pembuktian materil.
Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 BW, mengatur mengenai alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata ke pegadilan secara limitatif dan disusun secara berurutan dari mulai alat bukti surat, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Selain itu juga terdapat alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu persitiwa yang menajdi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat yang diatur dalam Pasal 153 HIR/273 RBg.
Selain pemeriksaan setempat, keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahun hakim juga dapat digunakan dalam pembuktian. Keterangan tersebut dapat diperoleh dari ahli. Menurut hukum seseorang baru dikatakan ahli apabila:
- Memiliki pengetahuan khusus di bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga benar-benar kompeten di bidang tersebut.
- Keahlian dapat dalam bentuk skill karena hasil latihan atau pengalaman.
- Sedemikian rupa spesialisasi yang dimilikinya sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikannya dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa.
Keterangan ahli diatur dalam Pasal 154 HIR/274 RBg yang menyebutkan apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya dapat dijelaskan oleh seorang ahli, maka atas permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya hakim/pengadilan dapat mengangkat seorang saksi ahli. Keterangan dapat diberikan secara lisan maupun tulisan yang diteguhkan dengan sumpah.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 April 1976 No. 71 K/Sip/1974, menyebutkan bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Foto (potret) dan hasil rekaman suara atau gambar (termasuk cctv), berdasarkan literature tidak dapat dijadikan alat bukti karena dapat saja direkayasa. Namun dalam perkembangan dewasa ini, dengan kemajuan di bidang teknologi dan informasi, asli atau tidak suatu foto, dan hasil rekaman suara dan gambar dapat diketahui. Mahkamah Agung RI dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari 1988 No. 39/TU/88/102/Pid, mengemukakan pendapat bahwa microfilm atau microfiche dapat dijadikan alat bukti.
Berbagai jenis alat bukti elektronik muncul dalam praktiknya di masyarakat, misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video teleconference, SMS, hasil rekaman kamera tersembunyi (CCTV), informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpanan data. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, dikirim, diteruskan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya; yang dapat dilihat, ditampilkan dan atau didengar melalui sistem elektronik. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan keaslian atau keabsahan bukti berbentuk dokumen elektronik, adalah tanda tangan elektronik (digital signature).