![]() |
Cover Novel Pulang (Sumber) |
Fenomena black economy / underground economy / shadow economy, atau apapun itu istilah yang digunakan untuk kegiatan ekonomi yang tidak tercatat oleh negara, menjadi topik yang selalu hangat untuk dibahas. Tidak bisa kita pungkiri, di negara kita Indonesia fenomena itu juga marak terjadi. Sebut saja pembalakan liar ataupun korupsi. Fenomena itu terlalu hitam, terlalu tersembunyi dan terlindungi, sehingga setelah berpuluh-puluh tahun tidak bisa diberantas sepenuhnya. Shadow economy, merupakan isu yang diangkat oleh Tere Liye dalam novelnya yang berjudul pulang ini. Tidak hanya sekedar selipan, tetapi benar-benar menjadi bagian dalam novel. Membuat kita bergidik, memikirkan betapa mudahnya shadow economy melebarkan sayapnya di negara kita, mungkin saja seperti yang digambarkan Tere Liye di dalam novelnya.
****
“..tapi apapun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram.” (hal. 24)
“..tapi apapun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram.” (hal. 24)
“..agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu. Hitam seluruh
hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang.” (hal. 24)
Berbekalkan janji kepada Mamaknya, akhirnya
Bujang berangkat dengan rombongan Tauke Besar menuju ke Kota Provinsi Sumatra, meninggalkan
kampungnya di lereng Bukit Barisan. Tauke Besar-yang pada awalnya dikenal Bujang
sebagai Tauke Muda-merupakan saudara angkat Bapaknya. Bapaknya juga pernah
mengabdikan diri menjadi tukang pukul Tauke Besar sebelumnya, Ayah dari Tauke Besar
yang sekarang. Tauke Besar datang ke kampung Bujang dengan tujuan untuk berburu
babi hutan yang meresahkan warga. Pada saat berburu itulah keberanian Bujang
memuncak, tanpa tersisa sedikitpun rasa takut. Karena sebuah janji, Bujang
dibawa Tauke Besar ke kediaman keluarga Tong, untuk kemudian diasuh menjadi
anak angkatnya.
Tauke Besar tidak berniat menjadikan Bujang sebagai tukang pukul. Ia ingin Bujang menjadi lebih daripada seorang tukang pukul. Bujang pun dididik oleh seorang guru dari Amerika bernama Frans. Namun, darah tukang pukul yang mengalir di tubuh Bujang memberontak. Bujang tidak ingin hanya otaknya saja yang dilatih, tetapi fisiknya juga. Ia ingin menjadi tukang pukul seperti Basyir, temannya. Awalnya Tauke Besar tidak mengabulkan keinginan Bujang, tetapi berkat campur tangan Kopong, kepala tukang pukul, akhirnya Bujang pun diizinkan berlatih fisik, yang langsung diajarkan oleh Kopong (hal. 94).
Tahun demi tahun berlalu, Bujang tidak hanya diajarkan bagaimana cara berkelahi oleh Kopong. Tauke Besar juga mendatangkan guru-guru lain. Sebut saja Guru Bushi dari Jepang, yang mengajarkan Bujang menjadi seorang ninja serta samurai sejati dan Salonga dari Manila yang mengajarkan bagaimana menjadi penembak handal. Bujang juga sangat menyukai dunia kuliah (hal. 166). Bujang sangat menyukai pelajaran tentang shadow economy, bahkan itu ia jadikan sebagai topik skripsinya, dan memperoleh nilai sempurna. Bahkan dosen pengujinya tidak percaya, “Belum pernah aku melihat sebuah kajian yang begitu mendalam dan begitu detail. Kau seperti berada di dalamnya. Kau seperti anggota keluarga penguasa shadow economy.”
Setelah semua yang
dilaluinya, Bujang tumbuh menjadi tukang pukul nomor satu di Keluarga Tong,
yang tidak hanya kuat, tetapi juga jenius. Ia seorang tukang pukul yang telah
menyelesaikan dua master sekaligus
empat short-course dalam waktu
singkat (tiga tahun). Karena kehebatannya, ia dijuluki Si Babi Hutan. Dalam perjalanan menjadi seorang tukang pukul nomor satu, Bujang harus
kehilangan Mamak dan Bapaknya, secara bergantian. Hal itu sempat membuat Bujang
kehilangan semangat hidup. Namun, bersyukur Bujang memiliki keluarga yang
sangat memperhatikannya, seperti Tauke Besar dan Kopong, yang tidak pernah
menyerah untuk menghibur Bujang.
Tauke Besar tidak berniat menjadikan Bujang sebagai tukang pukul. Ia ingin Bujang menjadi lebih daripada seorang tukang pukul. Bujang pun dididik oleh seorang guru dari Amerika bernama Frans. Namun, darah tukang pukul yang mengalir di tubuh Bujang memberontak. Bujang tidak ingin hanya otaknya saja yang dilatih, tetapi fisiknya juga. Ia ingin menjadi tukang pukul seperti Basyir, temannya. Awalnya Tauke Besar tidak mengabulkan keinginan Bujang, tetapi berkat campur tangan Kopong, kepala tukang pukul, akhirnya Bujang pun diizinkan berlatih fisik, yang langsung diajarkan oleh Kopong (hal. 94).
Tahun demi tahun berlalu, Bujang tidak hanya diajarkan bagaimana cara berkelahi oleh Kopong. Tauke Besar juga mendatangkan guru-guru lain. Sebut saja Guru Bushi dari Jepang, yang mengajarkan Bujang menjadi seorang ninja serta samurai sejati dan Salonga dari Manila yang mengajarkan bagaimana menjadi penembak handal. Bujang juga sangat menyukai dunia kuliah (hal. 166). Bujang sangat menyukai pelajaran tentang shadow economy, bahkan itu ia jadikan sebagai topik skripsinya, dan memperoleh nilai sempurna. Bahkan dosen pengujinya tidak percaya, “Belum pernah aku melihat sebuah kajian yang begitu mendalam dan begitu detail. Kau seperti berada di dalamnya. Kau seperti anggota keluarga penguasa shadow economy.”
Dalam masa dua puluh
tahun keluarga Tong meraih kesuksesan dalam berbagai bidang di Ibu Kota. Hal itu memupuk kebencian dari keluaga lainnya. Hingga
suatu hari kediaman keluarga Tong mendapat serangan, bukan serangan biasa. Serangan
kali ini sengaja diatur oleh seseorang dari keluarga Tong, orang terdekat
Bujang.
“Semua orang bisa berkhianat,
Bujang. Termasuk Tauke Besar. Dia juga bisa berkhianat.” (hal.
263)
Pengkhianatan yang
terjadi membuat kehidupan Bujang jungkir balik. Ia bertemu dengan seseorang
dari masa lalu yang tidak pernah dikenalnya. Dari orang itulah kemudian Bujang
belajar banyak hal. Bujang belajar untuk memahami arti kehidupan. Belajar untuk
berdamai dengan dirinya sendiri, dan Bujang mulai percaya akan takdir yang telah
diatur-Nya. Bujang tahu ia akan dan harus pulang.
“Disinilah tempat aku dibesarkan,
dan besok lusa, disini pula tempat aku pulang.” (hal.
265).
“Apakah kau Bujang? Apakah kau Si
Babi Hutan? Apakah kau Agam? Atau kau akan lahir dengan sosok baru?” (hal.
344).
****
Dari novel 'Pulang' ini saya
belajar banyak hal. Tentang keberanian, kesetian, tentang rasa sakit, tentang
bagaimana berdamai dengan diri sendiri, dan banyak hal positif lainnya. Semua itu
disampaikan Tere Liye dengan cara yang sangat lembut, tanpa sedikit pun kesan ingin
menggurui. Diksinya juga sangat tepat dan sesuai, tidak berlebihan. Penempatan setiap
potongan-potongan cerita yang tidak kronologis tetapi pas, membuat cerita
semakin menarik untuk dibaca. Saya dibuat tidak bisa berhenti membaca
cerita-cerita berikutnya. Setting
tempat yang digunakan cukup banyak. Pada awalnya di pedalaman Sumatra, kemudian
Kota Provinsi, kemudian berpindah ke Ibu Kota, serta setting di luar negeri seperti Hongkong, Makau, Manila, dan
lain-lain. Untuk penggambaran setting tempat
di luar negeri saya merasa cukup, tetapi untuk penggambaran setting di dalam negeri saya merasa
kurang. Padahal setting tempat lebih
banyak di dalam negeri.
Selain kekurangan
diatas saya juga menemukan keganjilan yang lain. POV (Point of View) yang digunakan dalam novel
ini adalah POV orang pertama. Penggunaan POV ini memang tepat, membuatkan emosi
tokoh utamnya lebih dapat dirasakan pembaca. Namun, penggunaan POV ini
terbatas hanya pada apa yang dapat dirasakan, dilihat maupun didengar tokoh utamanya. Seharusnya
begitu. Sedangkan dalam novel ini saya beberapa kali menemukan adanya
kejanggalan. Seperti pada hal. 29, “Orang
dengan kemeja putih lengan panjang terdiam. Penasihat ekonominya berbisik,
meyakinkan betapa mendesaknya agenda ini..” Kemudian pada hal. 35-36. Serta
di beberapa halaman lainnya, pada saat Bujang menerima telepon, Bujang
seolah-olah dapat melihat apa yang dilakukan lawan bicaranya. Sebenarnya novel
ini hampir tidak ditemukan typo, hampir. Hanya ada sedikit. Seperti penggunaan
kata mess sayap kanan dan mess sayap kiri
yang beberapa kali tertukar, dapat dilihat pada hal. 40-43.
Sedikit kekurangan yang
terdapat dalam novel ini tidak mengurangi kualitasnya. Saya tetap dapat
menikmati cerita yang disajikan Tere Liye sampai tuntas dan menutup novel
dengan senyum puas. Sama dengan beberapa novel Tere Liye yang telah saya baca,
tidak pernah mengecewakan. Novel ‘Pulang’ ini layak dibaca oleh siapapun. Khususnya
orang-orang yang sedang mencari jalan pulang, pulang pada hakikat kehidupan
yang sebenarnya. Seperti kata Guru Bushi kepada Bujang, “Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan
dan kegembiraan.” (hal. 219)
Banyak sekali quote bertebaran di novel ini salah satunya yang sangat saya suka, “Bahwa kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain.” (hal. 187) Masih banyak lagi yang lainnya, yang bisa kita peroleh jika membaca novel ini.
Sekian resensi dari saya. Semoga bermanfaat. Wassalamualaikum ^^
Banyak sekali quote bertebaran di novel ini salah satunya yang sangat saya suka, “Bahwa kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain.” (hal. 187) Masih banyak lagi yang lainnya, yang bisa kita peroleh jika membaca novel ini.
Judul Buku : Pulang
Pengarang : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : II (September 2015)
Tebal Buku : iv + 400 halaman
ISBN : 978-602-082-212-9Sekian resensi dari saya. Semoga bermanfaat. Wassalamualaikum ^^